Rabu, 23 Juni 2010

Aku suka dengan "KATA" yang tak biasa

Terlalu sering aku menerima pernyataan dari "orang-orang disekitarku" tentang style bahasa yang sering kugunakan dalam percakapan yang sebenarnya akan lebih asyik kalau menggunakan kata yang sudah umum.

note:
"orang-orang disekitarku" -> maafkan aku, aku masih enggan menyebutmu sebagai teman atau sahabat. Hal itu lebih disebabkan oleh ketidaksiapanku bahkan mungkin keenggananku untuk rela berkorban untukmu sebagai salah satu definisi umum dari sahabat. Dan lagi aku juga belum yakin engkau akan beranggapan hal yang sama denganku bila aku menganggapmu sebagai teman atau sahabat. Hahaha... engkau belum tentu rela berkorban untukku.

Lain waktu kita bicarakan tentang pandanganku terhadap persahabatan. Kita kembali ke pembahasan tentang "KATA".

Aku mempunyai seorang guru, yang beliau tidak akan menganggapku sebagai muridnya. Karena aku tidak akan pernah layak menjadi muridnya, tetapi beliau akan selalu layak untuk menjadi guru bagi siapa pun.

Ust. Jalaluddin Rakhmat pernah berkata, dan sekali itu aku telah menjadi seorang pencuri. Pencuri KATA-KATA. Hindari menggunakan kata yang sama bermakna tertentu di dalam 1 kalimat. Maknanya boleh saja sama, tetapi kata yang digunakan baiknya berbeda.

note:
Untung saja aku menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, jadi aku memiliki cukup banyak perbendaharaan kata-kata sinonim. Terima Kasih secara khusus perlu kusampaikan untuk guru Bahasa Indonesia sewaktu masih SMP. Dia memujiku, dan pujian itu mengangkatku pada sorga kebanggaan yang kadang kuanggap sebagai dosa tapi mengasyikkan.

Dan aku membuktikannya berkali-kali, jurus itu memang sakti menarik perhatian kawan bicara. Dan syair yang kutulis juga mampu mengharubirukan bahkan mengaduk-aduk perasaan pembacanya yang kutujukan secara khusus. Tapi tentu saja, syair yang kutulis bukan tentang romantisme cupid. Terlalu bahaya, bisa jadi disalahpahami hasratku menumpahkan kata-kata eksotis dianggap sebagai ungkapan perasaan khusus. SUCK ROMANTISME

Maafkan aku, pembaca syairku, aku telah menipumu. Syair yang kutuliskan sebenarnya bukan untukmu. Tapi itu hanyalah penggambaranku atas kesombongan perbendaharaan kata yang kumiliki, dan kecongkakan atas hasratku untuk memberitahumu bahwa aku mampu membuatmu terharubiru. Aku telah memanfaatkan momen kehidupanmu sebagai wadah semburan kata-kata yang terlalu lama kutahan.

Tetapi engkau tak perlu bersedih, aku memang telah mengakalimu, tapi engkau tak bisa menyangkal bahwa aku telah berhasil menyelipkan secarik kertas kebahagiaan dalam lembaran buku sejarah kehidupanmu. Tidakkah engkau ingin berterima kasih atas ke-brengsek-an yang telah aku lakukan terhadapmu?

eh... bentar. ada interupsi dari ruangan sebelah... dilanjut beberapa saat lagi.
Interupsi berakhir...
Lanjut....

Berbicara soal kata,
Aku tak pernah bisa mengingat kapan aku bisa mengetahui makna suatu
Yang aku ingat hanyalah makna kata-kata itu
Karena aku mengetahui maknanya, maka aku bisa memilih kata yang bisa mewakili makna itu sesuka hatiku. Tapi sayangnya, bagaimanapun sukanya rasa hatiku, hingga kini aku tak bisa melepaskan diri dari penjara keharusan kata-kata yang kugunakan untuk dipahami oleh yang membaca atau mendengarnya.

Ah... menyebalkan.
Interupsi itu membuyarkan jiwa tulisan ini.
Rasanya jadi hampa
Kemana jiwa itu melayang?

1 komentar:

  1. Katalah...selagi lidah belum terkedu. Katalah dgn tebaran salam merayau dibawa angin menyusut gunung , katalah dalm hangat pautan meraba raba angin, katalah dengan kebinngan itu..katalah siapa sebenarnya yg engkau cari.

    BalasHapus